TEMPO.CO, Jakarta - Sebelum menerima panggilan Presiden Soeharto untuk pulang kampung, BJ Habibie pernah ditawari Presiden Filipina Ferdinand Marcos membangun industri pesawat di sana pada 1974.
Hal itu diceritakan BJ Habibie kepada Tempo, yang menuliskan memoar tentang dirinya di Majalah Tempo edisi 28 Mei 2012.
"Usia saya 36 tahun saat diminta CEO Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), Ludwig Bolkow, pergi menemui Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Saya tiba di ruang tamu Istana Malacanang awal Januari 1974," kata BJ Habibie.
"Saya dipersilakan masuk ke ruang kerja Presiden Marcos. Ruangan itu besar, dingin, dan gelap. Cahaya di tengah ruangan menyorot meja tulis besar dan Presiden Marcos yang berdiri di belakangnya. Dia mengulurkan tangan, ”My son, welcome back to your country, Dr Habibie!” Saya kaget. ”Mr President, saya bukan orang Filipina!” kata Habibie pada Marcos.
”Ah, you are son of this region,” kata Marcos seperti ditirukan Habibie.
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Marcos menawari Habibie mengembangkan industri dirgantara di Manila. ”Bagaimana kalau kamu pindah kemari? Saya kasih semua fasilitas. Kamu bisa membantu Indonesia dari sini,” kata Marcos.
"Saya bilang tidak bisa. Mr President, saya datang kemari untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hak prerogatif umat manusia. Tidak tergantung warga negara. Dua minggu kemudian, permintaan itu resmi saya tolak," kata Habibie.
Menurut Habibie, beberapa bulan kemudian, Presiden Soeharto bertemu dengan Presiden Marcos di Manado. Marcos sedikit melagak dan mengatakan akan membangun pusat pengembangan teknologi dan dirgantara.
”Saya punya uang dan ahlinya,” kata Marcos. ”Siapa namanya?” ujar Pak Harto. ”Bacharuddin Jusuf Habibie,” jawab Marcos. ”Lho, itu Rudy! Saya kenal dia dari kecil,” kata Pak Harto.
"Ya, saya memang mengenal Pak Harto sejak berumur 14 tahun," kata Habibie.
Setelah mendengar cerita Marcos ini, Soeharto mengutus Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo menemui Habibie di Jerman. "Saya sedang mengikuti rapat di kantor MBB saat ditelepon Duta Besar RI untuk Jerman, Achmad Tirtosudiro—yang belakangan menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia."
Habibie mengaku tidak kenal dengan Ibnu Sutowo, yang ingin bertemu dengan dia di Dusseldorf.
Berikutnya: Dibentak Ibnu Sutowo